Sunday, March 3, 2019

Membumikan Konsep Islami dalam Etos Kerja


Manusia diciptakan dalam bentuk yang sebaik-baiknya, ditakdirkan untuk menjadi seorang pemimpin/khalifah. Sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang bermanfaat bagi orang lain, menebar benih-benih kebaikan, menebar rasa kasih sayang diantara sesama. Manusia harus terus bergerak, bekerja dalam artian melakukan pekerjaan yang diniatkan untuk ibadah, meraih ridho Allah, bergerak untuk berdakwah, bergerak untuk menjadi manusia yang berusaha menyalurkan potensi yang telah Allah anugerahkan. Kasih sayang Allah tanpa batas, potensi alam yang tentunya bersinergi dengan potensi manusia yang tanpa batas, anugerah besar sekaligus amanah dari Allah yang harus dijaga, dimanfaatkan dengan baik dan positif, sehingga dapat memberikan kontribusi besar bagi peradaban manusia, khususnya generasi penerus bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman dalam hidupnya, al-qur’an dan sunnah sebagai pedomannya, Rosulullah sebagai teladannya, serta bermanfaat bagi lingkungan disekitarnya.
Sumber daya manusia yang berkualitas agar dapat melahirkan etos kerja yang islami, konsep tersebut telah tertuang rapi dan diisyaratkan dalam Al-Qur’an, yang artinya: “Dan katakanlah’ bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang Mukmin akan melihat pekerjaanmu itu…” (At-Taubah; 105). Ayat ini merupakan ayat motivator (penyemangat) untuk selalu bekerja dan berkarya sesuai dengan kemampuan masing-masing serta meningkatkan kreatifitas hasil karya dan ciptaan-Nya. Apabila konsep islami itu mampu “dibumikan” maka etos kerja pribadi Muslim akan mampu bersaing dengan sumber daya umat dari Negara-negara berkembang atau bahkan Negara-negara maju.
Dizaman milenial sekarang ini, umat islam jangan hanya mengekor bahkan tunduk terhadap perkembangan-perkembangan dari berbagai bidang yang justru merusak kepribadian umat islam itu sendiri, kelemahan-kelemahan sumber daya manusia Muslim dimanfaatkan oleh Negara barat untuk memperlemah dalam berbagai bidang, seperti bidang ekonomi, teknoologi, sosial dan budaya. Sangat menyedihkan ketika pribadi Muslim melupakan dan kurang memperhatikan implementasi kerja, ada sebuah hadits pembakar semangat dalam bekerja Lillah, yang berbunyi: “Sesungguhnya Allah senang jika salah seorang diantara kamu mengerjakan suatu pekerjaan yang dilakukan secara sungguh-sungguh (professional)”. Hadits tersebut menunjukan bahwa keistimewaan dan ciri khas dari pribadi Muslim adalah profesionalisme sejati.
Allah memberikan anugerah berupa akal yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, bergerak, bekerja, belajar menimba ilmu pengetahuan dan tentunya ilmu Agama. Jangan mau jadi umat yang terbelakang, jangan mau jadi umat yang terjajah intelektualnya, jangan mau jadi umat yang hanya bisa pasrah berpangku tangan menerima keadaan kehidupan yang semrawut, krisis akhlak dan karakter, krisis keteladanan pemimpin, bentengi diri dengan ilmu agama, dengan sikap Tawakkal namun tetap melangkah, bergerak, bekerja menciptakan etos kerja yang islami.
Tugas kita sekarang adalah berintrospeksi diri, tak ada alasan untuk bermalas-malasan, selama mata masih dapat memandang tajam, selama kaki dan tangan masih mampu bergerak, selama nafas masih berhembus serta jantung masih berdetak, selama itu pula kita sebagai pribadi Muslim untuk terus bergerak, bekerja, memacu diri, melecut diri, meningkatkan kualitas diri, mengoptimalkan potensi besar sekaligus amanah besar yang telah Allah berikan.

FENOMENA HAJI INDONESIA PADA MASANYA (Studi Kasus: Rendahnya Tingkat Pemahaman Jamaah Haji Indonesia)


Penyelenggaraan ibadah haji Indonesia merupakan tugas Nasional yang strategis karena melibatkan hampir semua potensi bangsa sebagai penyelenggara dan dilaksanakan secara serentak serta bersama-sama dengan umat Islam dari berbagai Negara. Kuota yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi sebanyak 168.800 jamaah dan akan kembali normal pada 2017 menjadi 211.000 jamaah yang merupakan jamaah haji terbesar jumlahnya dibandingkan dengan jamaah haji dari berbagai Negara di dunia. Namun, jumlah jamaahnya yang besar, tetapi kualitas SDM dan pemahaman agamanya masih memprihatinkan.
Dari masa ke masa, minatnya calon jamaah haji yang ingin berangkat ke Baitullah terus mengalami peningkatan. Terlepas dari segelintir jamaah yang sekedar ingin jalan-jalan, berwisata, atau bahkan yang hanya ingin dipanggil dengan sebutan “pak haji dan bu hajjah”. Disebagian yang lain, adapula jamaah haji yang benar-benar ingin mengunjungi dan beribadah khusyu’ di Mekkah. Namun pada kenyataannya, masih banyak jamaah haji yang belum memahami manasik haji, karena berbagai faktor, diantaranya pelatihan manasik yang sangat singkat, tingkat pemahaman agamanya kurang, maupun faktor usia yang sudah tidak mudah lagi untuk mengingat bahkan menghafal. Dari fenomena inilah mengerucut timbul permasalahan bahwa tingkat pemahaman jamaah haji di Indonesia masih rendah, bahkan tertinggal jauh dari negeri seberang (Malaysia) yang sudah bisa menjadi jamaah haji yang mandiri.
Hasil lapangan membuktikan bahwa, hiruk pikuknya orang beribadah di tanah suci, kualitas jamaah seperti itu akan menjadi masalah besar, seperti jamaah tidak tahu dan tidak selesai melaksanakan rukun dan wajib hajinya tanpa disadari. Selain itu, jamaah terpisah dari rombongan dan tersesat bahkan ghaib. Ada juga jamaah yang memforsir diri melakukan amalan sunat tanpa sepengetahuan, sehingga kelelahan dan jatuh sakit hingga meninggal dunia. Karena itu, perlu pembinaan sejak dini secara komprehensif agar pada saat mendapatkan panggilan berangkat haji, jamaah telah siap mental dan pengetahuannya untuk bisa mandiri beribadah haji dalam rangka meraih haji mabrur.
Adapun fenomena dalam permasalahan tersebut, ketua Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Drs. H.M. Samidin Nashir, MM, mengemukakan bahwa:
a. Calon jamaah haji Indonesia umumnya SDM rendah dan pengetahuan agamanya kurang, sehingga perlu disiapkan sejak terdaftar sebagai calon jamaah haji untuk mampu menjadi jamaah haji mandiri (isthita’ah kaffah).
b. Penyelenggaraan ibadah haji (pemerintah dan swasta) belum sungguh-sungguh menyiapkan program pembinaan jamaah haji (pra dan selama operasional) yang komprehensif untuk mewujudkan kelancaran beribadah guna meraih kemabruran hajinya.
c. Dari aspek pembinaan jamaah haji, pemerintah belum membuat kebijakan terkait peraturan persyaratan calon jamaah haji yang dianggap mampu menunaikan ibadahnya dengan baik dan benar.
Adapun rekomendasinya:
a. Penyelenggaraan ibadah haji (pemerintah dan swasta agar memprogramkan pembinaan ibadah secara bertahap, bertingkat, dan berlanjut sejak calon jamaah haji terdaftar dengan bekerjasama komunitas haji di daerah.
b. Perlu ada kebijakan pengaturan persyaratan kemampuan beribadah calon jamaah haji seperti syarat lancar membaca Al-Qur’an dan lulus manasik haji serta paham ibadah fardu. Calon jamaah haji yang belum memenuhi syarat pada setahun sebelumnya dianggap belum mampu dan ditunda untuk dimasukkan dalam kuota pada tahun jatuh tempo.
c. Dengan upaya demikian, jamaah haji Indonesia ke depan terdiri atas jamaah yang berkualitas (memiliki kemandirian). Upaya ini sekaligus sebagai salah satu solusi mengatasi antrean panjang calon jamaah haji. 

REFERENSI
Buletin Media Komunikasi & Informasi Komisi Pengawas Haji Indonesia

API SEJARAH: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia

Oleh: Ahmad Mansur Suryanegara.

Pengaruh perjuangan Ulama melahirkan Proklamasi, 17 Agoestoes 1945, Djoemat Legi, 9 Ramadhan 1346. Proklamasi bertepatan dengan Puluhan Pertama Ramadhan sebagai Puluhan Rahmat Allah Yang Maha Kuasa. Sebelum Proklamator Ir. Soekarno membacakan proklamasinya, ia meminta restu dari beberapa Ulama terkemuka di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur.
Demikian pula ideologi Pantjasila dan konstitusi Oendang-Oendang Dasar 1945, perumus pertamanya sesudah Proklamasi 17 Agoestoes 1945, Djoemat Legi, 9 Ramadhan 1364 H adalah Ulama: Wachid Hasjim dari Nahdlatoel Oelama, Ki Bagoes Hadikoesoemo dan Mr. Kasman Singodimedjo – keduanya dari Persjarikatan Moehammadiyah bersama pemimpin islam lainnya, yaitu Mohammad Teoekoe Hasan dari Aceh. Hasil perumusannya dilaporkan kepada Drs. Moh. Hatta. Kemudian diserahkan untuk disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 18 Agoestoes 1945, Sabtoe Pahing, 10 Ramadhan 1945.
Mungkinkah  bangsa Indonesia memiliki Sang Saka Merah Putih, jika Ulama tidak membudayakan warna Merah Putih yang berasal dari Bendera Rasulullah saw? Dihidupkan ditengah masyarakat melalui simbol-simbol budaya: Sekapur Sirih artinya kapur dan sirih melahirkan warna Merah. Seulas Pinang artinya jika pinang dibelah, pasti berwarna putih. Demikian pula upacara pengibaran Sang Saka Merah Putih saat pembangunan kerangka atap dibagian suhunan. Merupakan bahasa do’a memohon Syafaat dari Rasulullah saw. Dibudayakan pula dalam upacara saat pemberian nama bayi atau Tahun Baru Islam dengan membuat bubur merah putih.
Bangsa dan negara Indonesia, tidak hanya memiliki bahasa dan bendera, tetapi juga berkat perjuangan Ulama menjadikan Indonesia memiliki Tentara Nasional Indonesia – TNI – pada 5 oktober 1945, Djoemat Kliwon, 24 Sjawwal 1364. Ada sementara pimpinan nasional saat itu, menolak negara dan bangsa Indonesia punya TNI, mereka ingin negara tanpa tentara. Cukup hanya dengan polisi semata. Mengapa demikian? Karena TNI dibangun dari mantan Tentara Pembela Tanah Air – Peta. Sedangkan 68 Batalyon – Daidan, mayoritas Daidncho – Komandan Batalyon Tentara Peta adalah Ulama. Keinginan penentang pembentukan Tentara Keamanan Rakjat – TKR atau TNI di atas oleh Letnan Djenderal Oerip Soemohardjo dijawab “aneh soeatoe negara zonder tentara.” Konsolidasi selanjutnya, Soedirman mantan Daidancho – Dan Yon Tentara Peta Purwokerto dan guru Moehammadiyah, diangkat menjadi Panglima Besar.
Selain itu, jawaban Ulama, terhadap Makloemat X 3 November 1945 dalam waktu relatif singakat hanya empat hari sesudahnya, lahirlah Partai Islam Indonesia Masyumi, 7 November 1945, Rabo Pon, 1 Dzulhidjah 1364. Selain sebagai parpol tercepat lahirnya, terbesar jumlah anggotanya, juga berani mengeluarkan pernyataan: 60 Miljoen Moeslimin Indonesia Siap Berjihad Fi Sabilillah. Perang di djalan Allah oentoek menentang tiap-tiap pendjadjahan. Pernyataan demikian ini lahir karena Ulama dan Santri merasa berkewajiban melanjutkan para Ulama terdahulu, membebaskan Nusantara Indonesia dari segala bentuk penjajahan.
Kemudian karena perjuangan Perdana Menteri Mohammad Natsir sebagai intelektual, Ulama, dan politikus dari Partai Islam Indonesia Masyumi, Persatoean Islam – Persis, Jong Islamieten Bon – JIB, Partai Islam Indonesia – PII, melalui Mosi Integral, berdirilah Negara Kesatuan Republik Indonesia – NKRI – pada 17 Agustus 1950, Kamis Pahing, 2 Dzulhidjah 1369, sebagai jawaban terhadap gerakan separatis: Angkatan Perang Ratu Adil – APRA pimpinan Westerling di Bandung, Pemberontakan KNIL Andi Aziz di Makasar, dan Republik Maluku Selatan Soumokil di Ambon, yang didalangi oleh Van Mook. Sekaligus sebagai jawaban terhadap Proklamasi Negara Islam Indonesia, 7 Agustus 1949, oleh S.M. Kartosoewirjo. Dengan demikian berakhir pula Republik Indonesia Serikat – RIS – hanya berlangsung dari 27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950 M atau 6 Rabiul Awwal 1369 – 2 Dzulhidjah 1369 H. Berkat perjuangan Ulama maka Republik Indonesia Serikat – RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia – NKRI.
Dari fakta sejarah, terbaca betapa besarnya peran kepemimpinan Ulama dan Santri dalam perjuangan menegakkan kedaulatan bangsa dan negara. Diikuti pula dengan perjuangan Ulama dan Santri mempertahankannya serta membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia. Oleh karena itu, tepatlah kesimpulan E.F.E Douwes Dekker Danoedirdjo Setiaboedhi dari Indische Partij:
Jika tidak karena sikap dan semangat perjuangan para Ulama, sudah lama patriotisme di kalangan bangsa kita mengalami kemusnahan


*Disadur dari buku API SEJARAH: Mahakarya Perjuangan Ulama dan Santri dalam Menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia ditulis oleh Ahmad Mansur Suryanegara. Beliau lebih dikenal sebagai seorang Sejarawan Muslim.