Sunday, March 3, 2019

FENOMENA HAJI INDONESIA PADA MASANYA (Studi Kasus: Rendahnya Tingkat Pemahaman Jamaah Haji Indonesia)


Penyelenggaraan ibadah haji Indonesia merupakan tugas Nasional yang strategis karena melibatkan hampir semua potensi bangsa sebagai penyelenggara dan dilaksanakan secara serentak serta bersama-sama dengan umat Islam dari berbagai Negara. Kuota yang diberikan oleh Pemerintah Arab Saudi sebanyak 168.800 jamaah dan akan kembali normal pada 2017 menjadi 211.000 jamaah yang merupakan jamaah haji terbesar jumlahnya dibandingkan dengan jamaah haji dari berbagai Negara di dunia. Namun, jumlah jamaahnya yang besar, tetapi kualitas SDM dan pemahaman agamanya masih memprihatinkan.
Dari masa ke masa, minatnya calon jamaah haji yang ingin berangkat ke Baitullah terus mengalami peningkatan. Terlepas dari segelintir jamaah yang sekedar ingin jalan-jalan, berwisata, atau bahkan yang hanya ingin dipanggil dengan sebutan “pak haji dan bu hajjah”. Disebagian yang lain, adapula jamaah haji yang benar-benar ingin mengunjungi dan beribadah khusyu’ di Mekkah. Namun pada kenyataannya, masih banyak jamaah haji yang belum memahami manasik haji, karena berbagai faktor, diantaranya pelatihan manasik yang sangat singkat, tingkat pemahaman agamanya kurang, maupun faktor usia yang sudah tidak mudah lagi untuk mengingat bahkan menghafal. Dari fenomena inilah mengerucut timbul permasalahan bahwa tingkat pemahaman jamaah haji di Indonesia masih rendah, bahkan tertinggal jauh dari negeri seberang (Malaysia) yang sudah bisa menjadi jamaah haji yang mandiri.
Hasil lapangan membuktikan bahwa, hiruk pikuknya orang beribadah di tanah suci, kualitas jamaah seperti itu akan menjadi masalah besar, seperti jamaah tidak tahu dan tidak selesai melaksanakan rukun dan wajib hajinya tanpa disadari. Selain itu, jamaah terpisah dari rombongan dan tersesat bahkan ghaib. Ada juga jamaah yang memforsir diri melakukan amalan sunat tanpa sepengetahuan, sehingga kelelahan dan jatuh sakit hingga meninggal dunia. Karena itu, perlu pembinaan sejak dini secara komprehensif agar pada saat mendapatkan panggilan berangkat haji, jamaah telah siap mental dan pengetahuannya untuk bisa mandiri beribadah haji dalam rangka meraih haji mabrur.
Adapun fenomena dalam permasalahan tersebut, ketua Komisi Pengawas Haji Indonesia (KPHI), Drs. H.M. Samidin Nashir, MM, mengemukakan bahwa:
a. Calon jamaah haji Indonesia umumnya SDM rendah dan pengetahuan agamanya kurang, sehingga perlu disiapkan sejak terdaftar sebagai calon jamaah haji untuk mampu menjadi jamaah haji mandiri (isthita’ah kaffah).
b. Penyelenggaraan ibadah haji (pemerintah dan swasta) belum sungguh-sungguh menyiapkan program pembinaan jamaah haji (pra dan selama operasional) yang komprehensif untuk mewujudkan kelancaran beribadah guna meraih kemabruran hajinya.
c. Dari aspek pembinaan jamaah haji, pemerintah belum membuat kebijakan terkait peraturan persyaratan calon jamaah haji yang dianggap mampu menunaikan ibadahnya dengan baik dan benar.
Adapun rekomendasinya:
a. Penyelenggaraan ibadah haji (pemerintah dan swasta agar memprogramkan pembinaan ibadah secara bertahap, bertingkat, dan berlanjut sejak calon jamaah haji terdaftar dengan bekerjasama komunitas haji di daerah.
b. Perlu ada kebijakan pengaturan persyaratan kemampuan beribadah calon jamaah haji seperti syarat lancar membaca Al-Qur’an dan lulus manasik haji serta paham ibadah fardu. Calon jamaah haji yang belum memenuhi syarat pada setahun sebelumnya dianggap belum mampu dan ditunda untuk dimasukkan dalam kuota pada tahun jatuh tempo.
c. Dengan upaya demikian, jamaah haji Indonesia ke depan terdiri atas jamaah yang berkualitas (memiliki kemandirian). Upaya ini sekaligus sebagai salah satu solusi mengatasi antrean panjang calon jamaah haji. 

REFERENSI
Buletin Media Komunikasi & Informasi Komisi Pengawas Haji Indonesia

No comments:

Post a Comment